Cegah dari Kepunahan, Bersama Melestarikan Pusparagam Hayati

"Ketika keanekaragaman hayati benar-benar punah, maka akan terjadi banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Seperti terganggunya fungsi dan keseimbangan ekosistem. Untuk menanggulanginya, komitmen saja tidak cukup. Perlu dibarengi aksi nyata dan segera dari semua pihak untuk melindungi kelestarian ekosistem bumi”.

Oleh: Abdullah Karim Siregar

_____

    ist/Curioso Photography/pixel.co


AKaeS - Makhluk hidup (organisme) menjadi sarana penunjang keberlangsungan Planet Bumi yang terdiri dari beragam jenis. Seperti manusia, hewan (fauna), tumbuhan (flora), dan mikro organisme (seperti bakteri). Setiap entitas individual yang mampu menjalankan fungsi-fungsi kehidupan ini adalah satu ekosistem terbesar dalam kehidupan yang sangat berkaitan erat satu sama lain.

Ekosistem sendiri suatu sistem yang terdiri dari organisme hidup (biotik) dan lingkungan fisik (abiotik) yang saling berinteraksi di dalam suatu wilayah atau area tertentu. Dan Bumi merupakan sebuah sistem–semuanya terhubung–yang menyebabkan perubahan di satu zona dapat memengaruhi wilayah lainnya.

Seperti disebutkan United Nation (UN) atau Perserikatan Bangsa Bangsa di Indonesia bahwa Bumi 1,1°C lebih hangat dibandingkan akhir tahun 1800-an.

Badan Meteorologi Dunia (WMO) menyebut bahwa tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental. Anomali suhu rata-rata global mencapai 1,45 derajat Celcius di atas zaman pra industri. Angka ini, nyaris menyentuh batas yang disepakati dalam Paris Agreement tahun 2015 bahwa dunia harus menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 derajat Celcius. 

Dan kenaikan suhu tersebut merupakan awal dari mulainya perubahan atau “krisis” iklim. Selanjutnya, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer akibat dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik industri yang tidak berkelanjutan, adalah beberapa faktor yang mendorong perubahan iklim terjadi lebih cepat.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia menyebut dampak perubahan iklim yang melanda Bumi semakin mengkhawatirkan. Tidak hanya menjadi ancaman bagi Indonesia, namun juga bagi seluruh komunitas internasional. 

Konsekuensi dari perubahan iklim sudah bisa terlihat dan dirasakan. Antara lain, mencairnya es kutub, naiknya permukaan laut, dan banjir di satu belahan dunia. Di area lain ada kekeringan hebat, kelangkaan air, kebakaran hutan, badai dahsyat, dan semakin mengkhawatirkan.

Kondisi kenaikan permukaan laut dan intrusi air asin yang meningkat ke titik yang mengharuskan seluruh komunitas harus pindah dari habitatnya. Sementara kekeringan yang berkepanjangan menempatkan orang pada risiko kelaparan. 

Menilik Pentingnya Keanekaragaman Hayati Bagi Kehidupan di Bumi

    ist/Leon Aschemann/pixel.com

Konsekuensi dari perubahan iklim juga telah menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman hayati. Dan kepunahan selalu didahului oleh penurunan populasi dan penyusutan jangkauan spesies.

Keanekaragaman hayati menggambarkan beragamnya kehidupan di Bumi yang mengacu pada setiap makhluk hidup atau organisme, seperti tumbuhan (flora), hewan (fauna), dan manusia. 

Masing-masing spesies (jenis) dari makhluk hidup tersebut “bekerja sama” dalam ekosistem (keanekaragaman suatu komunitas dan lingkungannya) untuk menjaga keseimbangan dan mendukung kehidupan.

Setidaknya keanekaragaman hayati di Indonesia terbagi tiga jenis: 1. Keanekaragaman hayati gen (genetik) suatu spesies. 2. Keanekaragaman hayati spesies dalam suatu habitat atau wilayah (banyak spesies). 3. Keanekaragaman hayati ekosistem (komunitas organisme dan lingkungan fisiknya) yang saling berinteraksi. Diantaranya, ekosistem laut atau terumbu karang.

Keberadaan keanekaragaman hayati itu untuk mendukung keberlanjutan semua bentuk kehidupan dan berkontribusi dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Sumber daya hayati juga berperan penting menyerap zat pencemar lingkungan, seperti CO2. Menjaga stabilitas iklim dan berperan menurunkan risiko berbagai bencana alam. Contoh sederhananya, pohon bakau yang asri dapat mencegah abrasi dan meredam terjangan tsunami.

Selain menurut jenis, keanekaragaman hayati terbagi dalam beberapa tingkatan, yakni level spesies dan ekosistem. Level spesies mencakup seluruh spesies yang ditemukan di bumi, baik tumbuhan maupun satwa liar. Sedangkan tingkat ekosistem meliputi habitat (wilayah tempat hidup) dan proses ekologi (hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungan) di daratan atau lautan. 

Misalnya, keanekaragaman hayati tingkat ekosistem laut adalah keanekaragaman kehidupan di lautan yang mencakup semua hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme yang hidup di lautan. Salah satu diantaranya adalah terumbu karang yang memiliki peran sangat penting bagi kelangsungan makhluk hidup.

Laut Dalam Menyimpan Keanekaragaman Hayati yang Besar

    ist/Francesco Ungaro/pixel.com

Terumbu karang sendiri adalah ekosistem bawah laut yang kompleks yang mendukung berbagai kehidupan laut dan berkontribusi pada tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi.

Secara ekologis, terumbu karang merupakan tempat organisme hewan maupun tumbuhan mencari makan dan berlindung. Secara fisik, terumbu karang menjadi pelindung pantai dan kehidupan ekosistem perairan dangkal dari abrasi laut.

Seperti kata Prof. Dr. Augy Syahailatua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)—dalam seminar Forum Bumi bertajuk “Apa yang Terjadi Bila Keanekaragaman Hayati Kita Punah?” yang digelar di Jakarta, pada 8 Agustus 2024 lalu—bahwa laut Indonesia tidak hanya luas seperti pemahaman dan yang diketahui umum selama ini, tetapi juga sangat dalam.

Dari luas wilayah laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta Km2, tercatat 70 hingga 80 persen merupakan zona laut dalam. Gambaran ini menurutnya sangat penting karena menyimpan keanekaragaman hayati yang besar.

Meski demikian bukan berarti tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebab lanjut Prof Augy, perubahan iklim dapat mengurangi terumbu karang di Indonesia sebesar 22,15 persen pada tahun 2100 nanti.


Seperti diketahui, Indonesia tercatat sebagai bagian dari “Segitiga Terumbu Karang Dunia” atau Coral Triangle. Wilayah Coral Triangle yang mencakup area milik Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, hingga Timor-Leste ini, mempunyai sekitar 500-800 spesies terumbu karang.

Jika perubahan iklim dapat mengurangi terumbu karang di Indonesia sebesar 22,15 persen pada tahun 2100 (rentang waktu 76 tahun ke depan), seperti dikatakan Prof Augy, tentu sangat mengkhawatirkan.

Sebab, rentang waktu itu setara dengan satu generasi manusia. Sederhananya, dalam empat generasi berikutnya setelah 2100–ketika pengurangan itu konstan sebesar 22,15 persen setiap 75 tahun–tidak akan ada lagi terumbu karang. Tentu jika tidak ada upaya mencegah, memperbaiki, dan melindungi kondisi terumbu karang yang ada saat ini.

Saatnya Memutus Penyebab Kepunahan Keanekaragaman Hayati

    Ist/Lara Jameson/pixcel.com

Menurut UNESCO, penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati adalah perubahan iklim, spesies invasif, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam, polusi dan urbanisasi. Aktivitas manusia bertanggung jawab sebesar 75% dalam faktor penyebab hilangnya keanekaragaman hayati.

Catatan International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List menyebut, tumbuhan terancam punah di dunia mencapai 24.914 spesies pada 2022. Sedangkan spesies hewan yang terancam punah pada 2022 sebanyak 16.900 spesies.

Indonesia berada di urutan kedua dunia negara dengan  megabiodiversitas, (kekayaan hayati melimpah), namun tercatat terbanyak keempat memiliki spesies terancam punah.

Jika keanekaragaman hayati benar-benar punah, maka akan terjadi banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Seperti terganggunya fungsi dan keseimbangan ekosistem. 

Terganggunya fungsi ekosistem dapat mengubah interaksi simbiosis dengan spesies lain dan lingkungannya. Sementara keseimbangan ekosistem menjadi tidak stabil lantaran terganggunya rantai makanan.

Dampak negatif lainnya berupa terganggunya siklus biogeokimia Bumi. Sebab, siklus ini bergantung pada keberadaan hewan dan tumbuhan. Dampak lanjutan dari terganggunya siklus biogeokimia membuat unsur penting di Bumi sulit didaur ulang, sehingga Bumi tidak lagi menyediakan unsur pembentuk kehidupan.

Tak sampai disitu, kepunahan keanekaragaman hayati juga menyebabkan terjadinya degradasi lahan, produktivitas lahan menjadi menurun, hutan akan gundul, dan bencana alam akan meningkat. 

Berikutnya, dapat mengancam keamanan pangan global karena terganggunya tanah dan air yang diketahui sebagai elemen yang sangat penting bagi produksi pangan. Dampak lanjutannya, dapat membahayakan kesejahteraan manusia.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan dan perlu dibenahi di Indonesia? Banyak, mulai dari menyempurnakan regulasi, kepatuhan dan kepedulian, dan tindakan bersama

Salah satunya kata Samedi, Direktur Program Kehutanan KEHATI, adalah menyempurnakan kekurangan yang ada dalam perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi. Termasuk belum maksimalnya perlindungan genetik dan sanksi yang hanya berlaku untuk spesies dilindungi, sementara satwa yang tidak dilindungi tetap berisiko punah.

Sementara Annas Radin Syarif, Deputi Sekjen AMAN Urusan Ekonomi dan Dukungan Komunitas, menyoroti peran penting masyarakat adat dalam konservasi. Berbanding terbalik dengan status mereka yang diakui sebagai pelindung lingkungan, kenyataanya peran mereka kerap diabaikan.

Annas mencatat bahwa 36 persen hutan dunia terletak di wilayah adat dan masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan lokal dan sanksi adat yang mendukung pengelolaan berkelanjutan.

Karena itu, sebelum bumi benar-benar tiada karena “proses alami”, sejatinya setiap individu, keluarga, segenap wilayah pemerintahan yang terkecil hingga pusat, pelaku dunia usaha dan industri hingga akademisi untuk tak mengabaikan tanggung jawab moral sesuai kapasitas masing-masing terhadap kelestarian ekosistem bumi.

Tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga bagaimana mewariskan bumi yang tetap indah untuk generasi seterusnya hingga bumi benar-benar musnah karena “proses alamiah”.

Seperti dikatakan Mahandis Yoanata, Managing Editor National Geographic Indonesia, saat menutup seminar Forum Bumi bertajuk “Apa yang Terjadi Bila Keanekaragaman Hayati Kita Punah?” yang digelar di Jakarta, pada 8 Agustus 2024 lalu bahwa pentingnya tanggung jawab moral semua pihak terhadap ekosistem bumi.

“Kita semua bertanggung jawab atas perilaku kita, dan setiap makhluk di bumi berhak hidup,” tegas Mahandis.

Pernyataan Mahandis tersebut tentu sangat beralasan bahwa awalnya perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Dengan kata lain, pergeseran ini terjadi secara alami, seperti melalui variasi siklus matahari.

Kenyataanya, sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia menjadi penyebab utama perubahan iklim. Terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak dan gas. Termasuk karbon dioksida dan metana.

Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca yang layaknya seperti selimut yang melingkupi Bumi, menghasilkan panas matahari dan menaikkan suhu.

Adapun Karbon Dioksida bersumber dari penggunaan bensin untuk kendaraan bermotor, batubara untuk industri, pembakaran untuk pembukaan lahan dan hutan. Sedangkan Metana diantaranya berasal tempat pembuangan sampah, energi, industri, transportasi, bangunan, pertanian dan tata guna lahan.

Bagaimana dengan dunia internasional? Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim dan Perjanjian Paris adalah salah satu contoh perjanjian dan panduan global dalam mengatasi perubahan iklim. Tiga kategori aksi utamanya adalah: mengurangi emisi, beradaptasi dengan dampak iklim, dan mendanai penyesuaian yang diperlukan.

Dengan begitu, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah mengalihkan sistem energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan seperti matahari atau angin akan mengurangi emisi yang mendorong perubahan iklim.

Namun, komitmen (Rencana Strategi) saja tidak cukup. Perlu implementasi secara nyata (Rencana Aksi) dari setiap individu, keluarga, segenap wilayah pemerintahan yang terkecil hingga pusat, pelaku dunia usaha dan industri, akademisi hingga masyarakat luas lainnya.

Tidak hanya di Indonesia, tapi juga dunia secara keseluruhan untuk tak mengabaikan tanggung jawab moral sesuai kapasitas masing-masing terhadap kelestarian ekosistem bumi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersama Menyudahi Kompleksitas Stunting, dari Pencegahan hingga Pentingnya Asupan Protein Hewani

Tebar Senyum Kebaikan, 31 Tahun Dompet Dhuafa Mengubah "Mustahik" Jadi 'Muzakki"

Merdeka dari Air Tak Sehat, Viesmann Solusi Pembersih dan Pemurni Air Berstandar Tinggi